MAKALAH
ALUSSUNNAH
( SALAH DAN KHALAF )
ILMU KALAM
KELOMPOK
:
AHMAD
ULIL ALBAB
ROHMATUN
NISA’
PEMBIMBING
:
ZAIN
ALWI ARAFAT, M.HI
FAKUSTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
SUNAN GIRI SURABAYA
TAHUN
AJARAN 2013/2014
KATA
PENGANTAR
Rasa
Syukur yang dalam kami sampaikan kehadirat Allah SWT yang maha pemurah,
pencurah Ramat, nikmat serta taufik dan
hidayahnya. Karenanya makalah kelompok kami dapat terselesaikan sesuai yang di
harapkan.
Dalam
penyusunannya. Kelompok kami dapat bantuan dari banyak pihak, kami mengucapkan
banyak terima kasih terutamanya kepada teman teman yang selalu mendukung kami.
Dari sanalah kesuksesan berawal, semoga semua ini sedikit memberi kebahagiaan
dan menuntun kepada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun
kelompok kami berharap isi dari kelompok ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan akan tetapi selalu ada yang kurang. Oleh karena itu kelompok kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kami agar berlatih menjadi yang lebih baik
lagi.
Demikian
makalah ini di buat dan semoga bermanfaat.
Sidoarjo, 08 April 2014
Penulis
ii
DAFTAR
ISI
Halaman Judul………………………………...........…………………… .…i
Kata Pengantar………………………..……………………………………...ii
Daftar Isi…………………………………………………………. .………...iii
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar
Belakang……………………………………….………............ …...1
b. Rumusan
Masalah…………………………………………...…………….1
c. Tujuan…………………………………………………….……...
.....……1
BAB II PEMBAHASAN…………………………… ....……………………2
a. Pengertian
Ahlussunnah…………………………….………. ....... .……..2
b. Pemikiran
Pemikiran Antara Salaf dan Khalaf………….………......……2
BAB
III PENUTUP……………………………….………………………….8
a. Kesimpulan…………………..……….…………………………………..8
b. Saran………………………………….…………………………………..8
DAFTAR
PUSTAKA
iii
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam
adalah agama yang bersifat universal, karena setiap ajarannya mencakup ke
seluruh aspek kehidupan manusia. Semua ajaran Islam terkodifikasi di dalam
kitab suci Alquran, akan tetapi Alquran memerlukan penjelasan karena Alquran
bersifat global. Oleh karenanya interpretasi (penafsiran) Alquran mengalami
perbedaan oleh umat Islam karena versi penafsiran sesuai dengan situasi dan
kondisi umat Islam yang berbeda-beda.
Perbedaan
penafsiran tersebut juga yang membuat pola pikir aliran kalam berbeda, secara umum
kerangka pikir para mutakalimin ada dua, yaitu tradisional dan rasional. Mutakalimin
yang berpola pikir tradisional adalah terikat pada dogma dan ayat yang
mengandung arti zhanni (teks yang mengandung arti lain selain arti secara
harfiah). Sedangkan mutakalimin yang berpola pikir rasional berpikir sebaliknya,
mereka terikat pada dogma yang jelas dan tidak menginterpretasi ayat yang
zhanni , dan mereka lebih mengutamakan akal. [1]
Dari
sekian beragam jenis mutakalimin, terdapat aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
(kaum yang berpegang kepada sunnah dan kaum mayoritas) [2] , dan di dalamnya terdapat
dua versi yang berbeda dalam mempertahankan ranah ideologi (aqidah), mereka
dikenal dengan istilah khalaf dan salaf. [3] Terkait dengan masalah tersebut, dan
karena materi mata kuliah yang diberikan untuk menguraikan dalam bentuk
makalah, maka makalah ini diberikan judul: AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH (SALAF
DAN KHALAF).
B. Rumusan Masalah?
Terkait dengan judul
makalah ini, maka pembahasan makalah ini di rumuskan sebagai berikut:
1. Pengertian
Ahlussunnah?
2. Bagaimana
Pemikiran pemikiran Antara Salaf dan Khalaf
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan dengan
perumusan masalah dari makalah ini, maka tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Pembaca
dapat mengetahui dan mengerti tentang Ahlussunnah
2. Mengetahui Pemikiran-pemikiran Ahlussunnah
Salaf dan Khalaf
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahlussunnah
Ahlusunnah merupakan
kata majemuk dari kata ahl dan al-sunnah.kata ahl berarti keluarga atau
kelompok, sedangkan al-sunnah berarti kebiasaan dan ajaran yang disampaikan dan
ajaran yang disampaikan oleh nabi.
Mayoritas ummat Islam
di seluruh dunia adalah pengikut sunni atau ahlussunnah. Menurut Maulana Abu
Said Al-Kadimy Ahlussunnah adalah orang-orang yang pengikut sunnah Rasulallah.
Artinya berpegang teguh dengannya. Sedangkan yang di maksud Al-Jama’ah ialah
jama’ah Rasulullah dan mereka adalah para sahabat dan Tabi’in. mereka itu
adalah orang-orang yang dijamin selamat dari api neraka. Firqoh ini terbagi
menjadi dua yakni ahlussunnah salaf dan ahlussunah khalaf, yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah ahlussunnah Salaf.[1]
B. Pemikiran Ahlussunnah ( Salaf dan Khalaf )
Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh
nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu mereka yang selalu berpegang teguh
kepada nabi Muhammad SAW adalah para sahabat, tabi’in, dan para pelopor
kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut seperti itu karena mereka
menisbatkan dirinya kepada Sunnah nabi dan kesepakatan mereka untuk merujuk kepadanya
lahir dan batin dalam hal ini ada dua versi yaitu: Salaf dan Khalaf
1. Salaf
Banyak
definisi yang diberikan oleh para pakar mengenai salaf , seperti menurut
Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu, karena salaf terkadang
dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat pada abad ke-4 yang terdiri atas
muhaditsin dan yang lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup
pada tiga abad pertama Islam.[2] Sedangkan
menurut As-Syahrastani, definisi salaf adalah tidak berpaham tasybih
(anthropomorphisme) serta tidak menggunakan ta’wil dalam menafsirkan ayat
mutasyabihat, sedangkan Mahmud al-Bisybisyi mendefinisikan dengan sahabat dan
tabi’in yang diketahui sikap mereka yang menolak interpretasi mendalam mengenai
sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru dengan tujuan untuk
mensucikan serta mengagungkan-Nya.[3]
Ibrahim
masykur menguraikan karakteristik ulama salaf atau salafiyah sebagai berikut:[4]
1. Mereka
lebih mendahulukan riwayat (Naqli) dari pada dirayah (“akal”)
2. Dalam
persoalan pokok-pokok agama (ushuludin) dan persoalan-persoalan cabang agama
(furu’adin), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-Kitab dan Al-Sunnah.
3. Mereka
mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang zat-NYA) dan tidak pula
mempunyai paham antropomorpisme.
4. Mereka
memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya dan tidak berupaya
untuk mena’wilkannya.
Ciri
khas golongan ini adalah, mereka kembali kepada penafsiran harfiah (literalis)
atau nash dan memunculkan tradisi kalam dan hukum, sebagaimana ketika
perkembangan pertama dalam islam, terutama pemikiran-pemikiran Ahmad bin
Hambal, serta menolak dominasi menolak dominasi akal dalam memecahkan berbagai
masalah keagamaan.
Menurut
Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari imam ahmad ibnu hambal.
Lalu ajarannya di kembangkan Imam ibnu Taimiyah, kemudian disuburkan oleh imam
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, dan akhirnya berkembang di dunia islam secara
sporadis.
A.
Riwayat
hidup Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah
1.
Imam
Ahmad Bin Hanbal
Ia
dilahirkan di bagdad tahun 164/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. ia sering
dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia
lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri mazhab Hanbali.
Ibunya bernama Shahifa binti Abdul Malik Ibn Sawadah Ibn Asy-syaibani,
bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Anas Ibn
Idris Ibn Abdullah Ibn Hayyan Ibn Akabah Ibn sya’ab Ibn Ali bin Jadalah Ibn
Asad bin Rabi Al Hadits Ibn moyangnya nabi Muhammad. Ayahnya meninggal ketika
Ibn Hanbal Masih remaja. Namun, ia telah memberikan pendidikan Al-Qur’an kepada
Ibn Hanbal.
Pada
usia 16 tahun, ia belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada
ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di kuffah, Basrah,
Syam, Yaman, Mekah, Madinah. Diantara guru-gurunya adalah Hammad Ibn khallid,
Ismail Ibn ‘Aliyyah, Muzzafar Ibn Mudrik, Walid Ibn Muslim, Muktammar Ibn
Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya Ibn Zaidah, Ibrahim Ibn Sa’id, Muhammad
Idris Ibn Asy Syafi’i, Abd Rozak Ibn Huma, Dan Musa Ibn Thariq. Dari
guru-gurunya, Ibn Hanbal mempelajari ilmu Fiqh, Hadits, Tafsir, Kalam, dan
Bahasa arab.[5]
Di antara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn taimiyah, Hasan Ibn Musa,
Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu zuhrah Ad-Damsyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn
Abi Ad-Dunia, Abu Bakar Al- Asram, Hanbal Ibn Ishaq Asy-Syaibani, Shaleh, Dan
Abdullah. Kedua orang yang disebutkan terakhir adalah putra Ibn Hanbal.Ibnu
hanbal dikenal sebagai zauhid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur
sebentar. Ia juga dikenal sebagai orang dermawan.
2.
Ibnu
Taimiyah
Nama
lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad Ibn Abi Al-halim Ibn taimiyyah.
Dilahirkan di Harran pada tahun (661H/729H). kewafatannya telah menggetarkan
dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pda
umumnya. Ayahnya bernama Syihabbuddin Abu Ahmad Abdul Halim Ibn Abdussalam Ibn
Abdullah Ibn Taimiyah, seoraqng Syaikh, Khatib dan Hakim dikotanya. Dikatakan
oleh Ibrahim Madkur Ibn Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena
kurang memberikan ruang gerak leluasa kepada akal. Ia adalah murid yang
muttaqi, wara’, dan zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa tartar
yang berani. Selain itu ia dikenal sebagai seorang muhadis, mufassir, faqih,
teolog, bahkan memiliki pengetahuan tentang filsafat. Masa hidup ibnu taimiyah
berbarengan dengan kondisi dunia islam yang sedang mengalami disintegrasi,
dislokasi sosial, dekadansi moral, dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun
setelah baghdad di hancurkanpasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam
upayanya mempersatukan umat islam, mengalami banyak tantangan, bahkan ia harus
wafat di dalam penjara.
B.
Pemikiran
Teori Imam Ahmad Bin Hanbal dan Ibn Taimiyah
1.
Pemikiran
Teori Imam Ahmad Bin Hanbal
a) Tentang
ayat-ayat mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, Ibn Hanbal lebih
suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan ta’wil,
terutama yang berkaitandengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat.[6]
Hal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat berikut.
ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ
ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ) ﻃﻪ
5: )
Artinya: “(yatiu) tuhan
yang maha pemurah, yang bersemayam di atas arsy.”
Dalam
hal ini Ibn Hanbal menjawab: “Istiwa di atas arasy terserah pada Allah dan
bagaimana saja dia khendaki dengan tiada batas dan tidak seorang pun yang
sanggup menyifatinya.”
Dari
pernyataan diatas, Tampak bahwa Ibn Hanbal bersikap menyerahkan (tafwid)
makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah Rasul-Nya dan
mensucikan-Nya dari dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak
mena’wilkan pengertian lahirnya.
b) Tentang Status
Al-Qur’an
Salah
satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya di
penjarakan beberapa kali, adalah tentang status Al-Qur’an, apakah diciptakan
(makhluk) yang karenanya hadis (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya
Qadim? Faham yang diakui pemerintah, yakni dinasty abbasiyah di bawah
kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-watsiq, adalah faham Mu’tazilah,
yakni Al-Qur’an tidak bersifat Qadim.
2.
Pemikiran
Teologi Ibn Taimiyah
Pikiran-pikaran
Ibn Taimiyah seperti yang dikatakan oleh Ibrahim Madzkur, adalah sebagai
berikut:[7]
a) Sangat berpegang
teguh pada nas (teks Al-Qur’an dan Al-Hadits)
b) Tidak memberikan
ruang yang bebas pada akal.
c) Berpendapat bahwa
Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama.
d)
Di dalam islam yang diteladani hanya tiga generasi saja. (sahabat, Tabi’in, dan
Tabi’I tabi’in)
e)
Allah tidak memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap
mentanzihkan- Nya.
Berikut
ini merupakan Pandangan Ibn Taimiyah Tentang sifat-sifat Allah[8]
1. Percaya
sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang ia sendiri atau Rasul-Nya
menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
a)
Sifat Salbiyah, yaitu Qadim, Baqa’, mukhalafah li al-hawadis, qiyamuhu bi
nafsih, dan wahdaniyah.
b)
Sifat ma’ani, yaitu Qudrah, iradah, sama, basar, hayat, ‘ilm, dan Kalam
c)
Sifat Khabariyah, yaitu (sifat-sifat yang diterangkan dalam Al-Qur’an walaupun
akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan
bahawa Allah di langit; Allah di atas arasy; Allah turun kelangit dunia; Allah
dilihat oleh orang beriman disurga kelak; Wajah, tangan mata Allah.
d)
Sifat Dhafiah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama nama Allah pada alam
mahluk, seperti rabb al-alamin, kaliq al-kaun, dan falik al-hubb wa al-nawa.
Berdasarkan alasan
diatas,Ibn Taimiyah tidak menyetujuipenafsiran ayat-ayat mutasyabihat.
Menurutnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat Allah harus diterima dan
diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsimkan tidak
menyerupai-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya tentang-Nya. Ibn Taimiyah
mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu: Allah
tidak meridhai perbuatan baik dan tidak meridhai perbuatan buruk. Pencipta
segala bentuk hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan
serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas
perbuatannya. Dikatakan oleh watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai
klimaksnya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teilog. Masalah
pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan tuhannya yang mutlak.
Oleh sebab itu, masalah tuhan, katanya tidak dapat diperoleh dengan metode
rasional, baik dengan metode filsafat maupun teologi. Juga bahwa keinginan
mistis manusia untuk menyatukan tuhan adalah suatu yang mustahil. Oleh karena
itu Ibn taimiyah sangat tidak suka pada aliran filsafat yang mengatakan
al-Qur’an berisi dalil Khitabi dan Iqna’i (penerang dan pemuas hati). Ibn
Hanbali menyerahkan (tafwid) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada
Allah dan Rasulnya. Sedangkan Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran
ayat-ayat mutasyabihat.
2.
Khalaf
Kata khalaf biasanya
digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan
karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf. Suatu
golongan dari ummat Islam yang mengambil fislafat sebagai patokan amalan agama
dan mereka ini meninggalkan jalannya as-salaf dalam memahami Al-Qur’an dan
Al-Hadits.[9] Awal
mula timbulnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak diketahui secara pasti
kapan dan dimana munculnya karena sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
mulai depopulerkan oleh para ulama salaf ketika semakin mewabahnya berbagai
bid’ah dikalangan ummat Islam.
1.
Riwayat
Singkat Al-Asy’ari dan Al-Maturidi
A.
Asy’ari
dan Latar Belakang Lahirnya Asy’ariyah
Abu
al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa
bin Bilal bin Abi Bardah bin Abi Musa al-Asy’ari (260-324 H) dianggap sebagai
pendiri alirah Asy’ariyah. Lahir di Bashrah, dan sampai usia 40 tahun dia masih
merupakan seorang penganut kalam Mu’tazilah.[10]
Dia sering menggantikan gurunya dalam mengajar. Tetapi dalam usia kematangan
berpikir seseorang, dia mengalami konversi. Dia meninggalkan paham Mu’tazilah
yang dianutyna bepuluh-puluh tahun, dan berbalik menyerangnya dengan alat yang
digunakan aliran itu sendiri, dan sekaligus menetapkan paham baru yang
dianutnya. Paham ini kemudian diikuti banyak orang sehingga lahirlah Asy’ariyah
sebagai salah satu aliran kalam dalam Islam. Mengenai sebab-sebab konversi
akidah yang dialami oleh Asy’ari ada berbagai versi riwayat. Jalal Musa,
seorang analisis kontemporer mengenai masalah ini, menjelaskan sebab intrinsik
berupa pergolakan spiritual Asy’ari sendiri. Di bidang kalam, di seorang
Mu’tazilah dan berguru dengan al-Juba’i; sedangkan di bidang fikih, dia
bermazhab Syafi’i dan berguru dengan Abu Ishaq al-Marwazi (w. 340 H), seorang
tokoh mazhab Syafi’i di Irak. Dari kedua sisi kehidupan intelektualnya ini,
Asy’ari melihat adanya dua kubu yang memilah-milah umat dengan kekuatannya
masing-masing, yaitu kubu ulama kalam dengan kekuatan metode rasionalnya, dan
kubu ulama fikih dan hadis dengan kekuatan metode tekstualnya. Kekuatan dua
kubu tersebut diketahuinya dan ia pun memilikinya. Karena itu timbulah
keinginannya untuk menyatukan kedua kekuatan itu dalam suatu aliran, sehigga
para ulama kedua kubu itu dapat diintegrasikan pula. Realisasi idenya ini dimulai
dengan peristiwa konversi tersebut. Terlepas dari berbagai analisis yang
dikemukakan di atas, yang jelas dan merupakan fakta sejarah adalah bahwa
Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan kemudian membentuk aliran baru, ketika
Mu’tazilah sedang berada dalam fase kemunduran (kelemahan). Yaitu setelah
al-Mutawakil membatalkannya sebagai mazhab resmi negara, yang selanjutnya
diikuti oleh sikap khalifah berpihak kepada Ahmad bin Hanbal (tokoh ahli
hadis/salaf), rival Mu’tazilah terbesar waktu itu. Dalam hal ini, Asy’ari
menegaskan dirinya sebagai pengikut Ahmad bin Hanbal, tokoh salaf yang
disebutnya sebagai Ahl al-Sunnah.
B.
Pemikiran
Kalam Asy’ari
Sebagai
orang yang pernah menganut faham Mu’tazilah, Asy’ari tidak dapat memisahkan
diri dari pemakaian akal atau argumentasi rasional. Ia menentang orang-orang
yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal agama dianggap suatu
kesalahan. Sebaliknya, ia juga mengingkari orang-orang yang berlebihan dalam
menghargai akal pikiran semata sebagaimana aliran Mu’tazilah.
Diantara pemikiran
Asy’ari dapat dikemukakan sebagai berikut:
1) Sifat Tuhan
Menurut
Asy’ari, Tuhan mempunyai sifat. Tuhan tidak mungkin mengetahui dengan zat-Nya,
karena dengan demikian berarti zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri
adalah pengetahuan. Sedangkan Tuhan bukanlah pengetahuan (‘ilm), melainkan Yang
Mahamengetahui (al-‘Alim). Selanjutnya ia tegaskan, Tuhan mengetahui dengan
pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan
sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar, melihat dan sebagainya.
Dengan demikian jelaslah bahwa pemikiran Asy’ari tentang sifat Tuhan ini
beberlainan dengan paham Mu’tazilah yang pernah ia anut. Bila Tuhan mempunyai
sifat, persoalan yang muncul adalah apakah sifat-sifat Tuhan itu kekal sehingga
menimbulkan paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’) sebagai yang
dikhawatirkan oleh Mu’tazilah membawa kepada paham kemusyrikan. Dalam kaitan
ini, Asy’ari mengatasinya dengan mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah
Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena sifat-sifat itu tidak lain
dari Tuhan, adanya sifat- sifat tersebut tidak membawa kepada paham banyak yang
kekal.
2) Kekuasaan Tuhan dan
Perbuatan Manusia.
Tentang
kekuasaan Tuhan, Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak,
kemutlakan kekuasaannya tidak tunduk dan terikat kepada siapa dan apa pun.
Tuhan dapat berkehendak menurut apa yang dikehendaki-Nya. Dengan paham
kekuasaan mutlak di tersebut, Asy’ari menolak paham keadilan Tuhan yang
dibawakan oleh Mu’tazilah. Bila menurut paham keadilan, Tuhan wajib memberikan
pahala (balasan baik) kepada orang yang berbuat baik dan hukuman bagi orang
pelaku dosa, maka menurut Asy’ari tidak demikian halnya. Bagi Asy’ari, Tuhan
berkuasa mutlak, dan tak satu pun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat
sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga
bukanlah Ia bersifat tidak adil, dan jika Ia masukkan seluruhnya ke dalam
neraka tidak pula Ia bersifat zalim. Mengenai perbuatan manusia, menurut
Asy’ari bukanlah diwujudkan oleh manusia sebagaimana pendapat Mu’tazilah,
tetapi diciptakan oleh Tuhan. Dalam hal ini Asy’ari mengemukakan alasan logika
sebagaimana yang dikutip oleh Abdurrahman Badawi: Kita ketahui bahwa kufur itu
adalah buruk, merusak, batil dan bertentangan, sedang perbuatan iman itu adalah
bersifat baik, tapi berat dan sulit. Sebenarnya orang kafir ingin dan berusaha
agar perbuatan kafir itu baik dan benar, tetapi hal itu tidak dapat ia
wujudkan. Sebaliknya, orang mukmin menginginkan agar perbuatan iman itu tidak
berat dan sulit, tetapi hal itu tidak dapat pula ia wujudkan. Dari argumen
logika ini tampaknya manusia menurut Asy’ari tidak memiliki daya (qudrat atau
istitha’ah) yang efektif untuk mewujudkan kehendak ke dalam bentuk perbuatan.
Selanjutnya, ia katakan bahwa yang mewujudkan perbuatan kafir atau perbuatan
iman bukanlah orang kafir atau mukmin itu sendiri yang memang tak sanggup
membuat kufr itu bersifat baik/benar dan membuat perbuatan iman itu menjadi
mudah dan tidak sulit. Jadi, pencipta perbuatan kafir dan iman yang sebenarnya
(hakiki) dalam hal ini adalah Tuhan yang memang menghendaki hal yang demikian.
Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa untuk mewujudkan perbuatan bagi
manusia diperlukan adanya kehendak (al-masyi’ah) dan daya (qudarah atau
al-istitha’ah). Dalam hal ini terdapat dua daya, yakni daya manusia yang
digerakkan (tidak efektif) dan daya Tuhan, Penggerak (efektif). Mengingat daya
yang efektif adalah daya Tuhan, maka sebenarnya perbuatan yang terjadi pun
adalah perbuatan Tuhan, sedang manusia dalam hl ini hanya memperoleh perbuatan.
Inilah agaknya yang dimaksud dengan “kasb” menurut pandangan Asy’ari. Atau
dengan perkataan lain, kasb adalah ketergantungan daya dan kehendak manusia
kepada perbuatan yang ditentukan dan diciptakan oleh Tuhan sebagai pelaku
hakiki. Dengan demikian manusia tidak mempunyai kebebasan dan kekuatan
mewujudkan perbuatannya. Oleh karena itu, setidaknya dari sudut ketidakmampuan
manusia dalam berbuat ini, Asy’ari lebih dekat dengan faham Jabariah.
3) Keadilan Tuhan.
Berbeda
dengan paham keadilan Tuhan menurut Mu’tazilah yang jelas bertentangan dengan doktrin
kekuasaan mutlak Tuhan dalam pandangan Asy’ari, paham keadilan Tuhan menurut
Asy’ari tidak bertentangan dan atau mengurangi kekuasaan mutlak Tuhan.
Sebaliknya, bahkan paham keadilan Tuhan merupakan manifestasi dari kehendak
mutlak Tuhan. Tuhan sebagai pemilik sebenarnya (al-Mulk) dapat berkuasa sepenuhnya
sesuai dengan apa yang Ia kehendaki. Jadi keadilan yang dimaksud di sini adalah
menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya sesuai dengan kehendak pemiliknya.
Kalau Tuhan berbuat sesuatu dalam pandangan manusia itu adalah salah, bukan
berarti itu dianggap salah, dan tidak dapat dikatakan Tuhan tidak adil, karena
Tuhan dapat berbuat apa saja yang Ia kehendaki.
4) Melihat Tuhan di
akhirat.
Menurut
Asy’ari, Tuhan dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak. Dalil yang ia
kemukakan untuk ini, antara lain adalah QS. Al-Qiyamah ayat 32-33. Pengertian
al-nazhr dalam ayat tersebut bukanlah i’tibar (memikirkan) atau al-intizhar
(menunggu) seperti yang terdapat dalam QS. 88: 17 dan 36: 49, melainkan berarti
melihat dengan mata. Selain dalil berupa ayat al-Quran, Asy’ari juga mengemukakan
alasan logika. Menurutnya, sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah
sifat-sifat yang membawa kepada arti Tuhan itu diciptakan. Sedangkan sifat
“Tuhan dapat dilihat” tidak membawa kepada hal yang demikian, karena apa yang
dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan.
Sehubungan dengan pandangannya ini, Asy’ari mengartikan QS. al-An’am ayat 103 la
tudrikhu al-abshar wa huwa yudrik al-abshar dengan mengatakan bahwa ayat ini
menjelaskan keadaan orang kafir sebagai suatu siksaan, yakni orang kafirlah
yang di akhirat nanti tidak dapat malihat Tuhan.
5) Anthropomorphisme
(tajassum).
Berlainan
dengan Mu’tazilah, Asy’ari berpandangan bahwa Tuhan punya wajah, tangan, mata
dan yang semisal dengannya, karena hal ini sesuai dengan penegasan ayat
al-Quran. Misalnya: QS. al-Rahman ayat 37, al-Maidah ayat 67 dan al-Qamar ayat
14. Adapun tentang bagaimana bentuk dan ukuran wajah, tangan, mata dan yang
semisal itu, dalam hal ini Asy’ari hanya mengatakan “bila kaifa atau la
yukayyaf wala yuhad” (tidak ditentukan bagaimana bentuk dan ukurannya). Bagi
Asy’ari, masalah ini tanpaknya dipandang sebagai persoalan yang berada di luar
batas kemampuan akal manusia.
6) Al-Quran
(Kalamullah).
Menurut
pendapat Asy’ari, al-Quran bukan makhluk sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Bila al-Quran
diciptakan, kata Asy’ari, berarti ia butuh kepada kata ‘kun’ (jadilah), karena
untuk menciptakan itu diperlukan adanya kata ‘kun’ sesuai dengan firman Allah:
innama qawluna li syai’ idza aradnahu an naqula lahu kun fayakun. Sedangkan
untuk penciptaan kata ‘kun’ tentu perlu pula kata ‘kun’ yang lain, dan begitu seterusnya
sehingga terjadi rentetan kata-kata ‘kun’ yang tidak berkesudahan. Hal yang
demikian ini, menurut pandangan Asy’ari adalah tidak mungkin. Oleh karena itu,
Asy’ari berpandangan bahwa al-Quran itu tidak diciptakan.
7) Pelaku dosa dan
konsep iman.
Bagi
Asy’ari, orang yang berdosa besar adalah tetap mukmin, karena imannya masih
ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Alasannya adalah
sekiranya orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir (posisi tengah
atau menempati antara keduanya), maka di dalam dirinya tidak didapati kufr atau
iman. Dengan demikian, ia bukan ateis dan bukan pula teis (bertuhan), dan hal
demikian ini tidak mungkin. Oleh karena itu, Asy’ari menolak konsep al-manzilah
bain al-manzilatain Mu’tazilah karena tidak mungkin orang yang berbuat dosa besar
itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Sejalan dengan pemikirannya tadi,
Asy’ari tidak memandang amal perbuatan sebagai unsur esensial (ushul) dari
iman. Perbuatan tidaklah berpengaruh langsung terhadap iman, dalam arti tidak
dapat menghilangkan iman seseorang, meski yang dilakukannya itu adalah dosa
besar. Hanya saja, akibat dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Dengan
demikian, batasan iman menurut Ay’ari adalah tashdiq bi Allah maksudnya, unsur
esensialnya iman.
8) Pengiriman utusan
Allah atau rasul.
Berangkat
dari pengakuan kekuasaan mutlak Tuhan, Asy’ari memandang bahwa Tuhan tidak memiliki
kewajiban mengutus rasul kepada umat manusia, meski pengutusannya itu memiliki
arti penting bagi kemaslahatan umat manusia. Semuanya itu dilakukan oleh Tuhan
lebih berdasarkan kepada kehendak mutlak-Nya.
C.
Al-Maturidi
A.
Riwayat
Singkat Al-Maturidi
Beliau
dilahirkan di Maturid. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya
diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333
H/944 M.[11]
B.
Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a)
Akal dan Wahyu
Al-Maturidi
membagi kaitan sesuatu dengan akal ada tiga macam, yaitu :
1.
Akal dengan sendirinya hanya mengetahiu kebaikan sesuatu itu
2.
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
3.
Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran
wahyu.[12]
b) Perbuatan Manusia
c) Kekuasaan dan
Kehendak Mutlak Tuhan
d) Sifat Tuhan
e) Melihat Tuhan
f) Kalam Tuhan
g) Perbuatan Manusia
h) Pengutusan Rasul
i) Pelaku Dosa Besar.
9) Janji dan ancaman.
Sebagaimana
pendapat tentang pengiriman rasul yang lebih didasarkan kepada kehendak mutlak Tuhan,
pandangan Asy’ari tentang janji dan ancaman juga berlandaskan kepada paham adanya
kehendak mutlak Tuhan itu. Tidak wajib bagi Tuhan untuk memberikan pahala
(balasan baik) bagi orang yang berbuat baik dan tidak wajib pula bagi-Nya
memberikan hukuman siksaan terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh
karena itu, Asy’ari menentang ajaran janji dan ancaman yang dianut oleh kaum
Mu’tazilah.
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mayoritas ummat Islam
di seluruh dunia adalah pengikut sunni atau ahlussunnah. Menurut Maulana Abu
Said Al-Kadimy Ahlussunnah adalah orang-orang yang pengikut sunnah Rasulallah. Artinya
berpegang teguh dengannya. Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin
Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Bardah bin Abi Musa al-Asy’ari
(260-324 H) dianggap sebagai pendiri alirah Asy’ariyah. Diantara pemikiran
Asy’ari dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Sifat Tuhan
2. Kekuasaan Tuhan dan
Perbuatan Manusia.
3. Keadilan Tuhan.
4. Melihat Tuhan di
akhirat.
5. Anthropomorphisme
(tajassum).
6. Al-Quran
(Kalamullah).Pelaku dosa dan konsep iman.
7. Pengiriman utusan
Allah atau rasul.
8. Janji dan ancaman.
B. Saran
Dalam
pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang bisa dipahami, penulis
mohon maaf yng sebesar-besarnya dan penulis sangat brterimakasih apabila ada
saran/kritik yang bersifat membangun sebagai penyempurna makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Eka putra wirman,
Kekuatan Ahlulsunnah (Jakarta:Hak cipta,2010)
Zainuddin, Ilmu Tauhid
Lengkap (jakarta:Rineka Cipta 2008)
Hanafi, Pengantar
Teologi Islam (jakarta:Pustaka Alhusna,1992)
Harun Nasution, Teologi
Islam (Jakarta:UI-Press, 2010)
Yahya Jaya, Teologi
Agama Islam Klasik (Padang : Angkasa Raya)
[1] Eka Putra Wirman, Kekuatan
Ahlussunnah, (Jakarta : Hak Cipta, 2010) , 23
[2]
Thablawy Mahmud Saad,
At-Tashawwuf fi Turast Ibn Taimiyah, ( Mesir : Al-Hai Al-hadis Al-Mishriyah
Al-Ammah li Al-Kitab, 1984) 11-38
[3] Asy-Syahrastaniy, Al-Milal wa An-Nihal,
( Beirut : Dar Al-Fikr, 1.1) 92-93
[4] Ibrahim Madkur, Fi Al-Falsafah
Al-Islamiyah, (Mesir, 1947), 30
[5] Dasuki, op, cit., Jilid II hlm.
82
[6] Dasuki, op. Cit., hlm 84
[7] Madkur, op. Cit., hlm 188
[8]
Abdullah Yusuf, Pandangan
Ulama Tentang Ayat-Ayat Mutasyabihat (Bandung: Sinar Baru, 1993) 58-60
[9] Abubakar Aceh, Salaf: Islam Dalam
Masa Murni, ( Solo: Ramadhani, 1986) 25
[10]
Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin, (Malaysia: Dar Ilm li Al-Malayin,
1984) 497
[11] H. AR. Gibb, et al., The
Encyclopedia of islam, ( Leiden:E,J. Brill, 1960) 414
[12] Zahrah. Op. Cit,. Hlm 179
Tidak ada komentar:
Posting Komentar